Ghiyats yang Datang dan yang Pergi
Kelahiran
anak layaknya meraih sebuah trofi. Bagi pemain bola yang kering
prestasi dan mengkeret dalam kompetisi, itu adalah sesuatu yang menyenangkan. Bagi
seorang pelatih dalam bidang apapun, kariernya akan terasa purna dan komplet.
Setelah daya,
tenaga yang dicurahkan, dan waktu yang dilalui
secara konsisten tidak serta-merta membuahkan hasil sonder campur tangan dari langit yang pemurah.
Kelahiran
seseorang biasanya sering kali dinarasikan berdekatan dengan hari-hari besar
atau penting yang menyertai peristiwa tersebut. Atau hari-hari yang sekiranya
memaksa seseorang untuk berusaha meresapkan suatu momen di dalam arsip lemari
memorinya.
Melalui
pendekatan inilah sekiranya kelahiran akan lebih mudah diingat dan dihafal di luar kepala. Ya,
walapun akan bernasib seperti layaknya upacara kemerdekaan, sebatas seremonial yang
diulang-ulang tiap tahun.
Setelah
kami (Misykatian) bertandang ke rumah Ammu Muwafiq dalam rangka tilik bayi,
redaktur web tercinta Mz
Daus Gripzet sehari berselang
menunjuk saya agar menatah peristiwa sakral ini ke dalam web. Apa boleh bikin
bung!
Menjadi
penting pengabaran ini ditulis karena saya percaya seperti termaktub dalam
sebuah buku yang berbunyi “cerita punya kekuatan untuk memantapkan keyakinan”.
Di sisi lain, cerita juga dapat membuat orang meragukan berbagai hal. Tak jadi
soal anda sekalian di pihak mana. Silakan pilih opsi yang pertama atau jatuhkan
kehendak pada opsi yang kedua, karena tulisan akan menemui pembacanya di mana saja.
OOO
Kabar
gembira berpendar dari pasangan suami-istri Moh. Muwafiq Azifulloh dan Ummu
Hani setelah buah hatinya pecah tangis di awal perjumpaan dengan oksigen bumi.
Anugerah yang tak terhingga ini hadir saat ekonomi negeri yang katanya “Ummu Dunya” mulai lesu
dan resesi. Ditandai dengan menghilangnya peredaran gula di pasaran. Melemahnya harga pound di
hadapan mata uang dolar.
Berjarak empat hari dari peringatan Hari
Santri, yang asal-usul dan cikal-bakalnya dari sebuah deklarasi yang dinamakan
Revolusi Jihad. Serta dua
hari jelang orang-orang berkerumun, berfestival, berjejal di lingkaran
merayakan Hari Sumpah Pemuda di manapun berada.
Atau
untuk segmen tertentu bisa dibaca melalui skena sepakbola Britannia. Jabang
bayi ini lahir di dunia tiga hari sebelum pemain termahal dunia 2016 dan
kawan-kawan tidak digdaya menghadapi gerombolan bocah-bocah London berseragam
biru. Mereka bermain secara meyakinkan untuk kemudian diparut di lini belakang,
diobok-obok pada lini tengah, dan seolah digulung badai taifun di Stamford
Bridge. Dengan pilihan pemain dan taktik yang diturunkan, Jose Mourinho
sepertinya secara sengaja menyemburkan dan menyemprotkan gas air mata pada
kesebelasannya sendiri.
Ghiyats
Muhammad Abdul Halim. Begitulah nama yang disandang bayi tersebut. Setelah
diselidiki,
nama “Muhammad Abdul Halim” ternyata dipetik dari nama sang kakek. Sedangkan nama “Ghiyats”
diberikan langsung oleh orang tuanya. Untuk arti dan filosofinya lebih baik
bertanya langsung kepada yang bertautan.
Laiknya
sebuah biji yang disebar dan ditandur, semoga akan berubah untuk disemai
menjadi api. Merekah, merekah dan berkah.
Namun,
diam-diam ada yang menyelinap dan bergelayutan dalam tubuh. Sesuatu yang
melantas masuk ke akal lalu berproses menuju raga kemudian menyuruk ke batin.
Saya teringat dengan nama yang sama tapi dengan rupa dan bentuk jasmani yang
lain. Seorang yang telah mati.
Mati muda.
Saya
tidak tahu apakah berita meninggalnya menggegerkan Masisir kala itu. Tapi yang
jelas saya belum pernah bertatap-muka apalagi sampai berkenalan. Saya hanya
sebatas tahu dan apesnya, itu dari teknologi yang bernama internet.
Anak
itu juga bernama Ghiyats. Lingkaran pertemanannya sering memanggil almarhum
dengan tambahan “Gus” di awal pelafalan. Redaktur kami, Mz Daus
Gripzet kebetulan pernah seruangan waktu sekolah dulu. Karena sekelas
dengannya, tentu saja saya jadi tahu
mendiang adalah dari kalangan terbaik di angkatannya. Dan lagi, saya memperoleh
kesaksian dari mas berkumis yang satu
itu bahwasanya mendiang orangnya gampang tahan alias pendiam dan beralam
lapang. Tidak neko-neko. Dan
seterusnya, dan sebagainya.
Berbeda
halnya jika ditilik dari beranda FB. Mendiang seringkali mengunggah dan
mencurahkan segenap kegelisahan dan pemikirannya. Kalau status-status tersebut dibaca
rasanya akan terasa relevan sampai sekarang. Malahan mungkin sampai selamanya.
Silakan tengok sendiri pada akun ”Achmad Ghiyats” yang mulai tahun kemarin
telah berubah menjadi kuburan digital.
Dilambari
atas ketidakberuntungan di atas, ijinkan saya berimajinasi tentang sosoknya.
Mendiang adalah seorang kutu buku yang
memikirkan nasib umat seperti Soe Hok Gie yang mati-matian menginginkan
keadilan pada bangsanya. Yang kritis terhadap masalah seputar keagamaan serupa Ahmad
Wahib, seorang yang getol mempertanyakan dirinya dan polemik-polemik yang
terjadi di sekitarnya. Adalah seorang yang laku hidupnya hanya untuk mengembara, berikhtiar, dan mencari ilmu
sebagaimana Imam as-Syafii
yang menimba ilmu dari satu tempat ke tempat yang lain. Mendiang adalah gabungan
berbagai karakter.
Semoga saya tidak
salah menuliskannya.
OOO
Bukanlah
masa depan yang hilang dari kematian tapi masa silamlah yang hangus bagi
orang-orang yang masih hidup di lingkaran mendiang. Begitu kata Milan Kundera. Parafrase
ini menarik karena ia tidak berbicara tentang arti kematian itu sendiri. Ia
ingin bilang bahwa kita, orang-orang yang ditinggalkan itulah yang merasa kesepian.
Merasakan beratnya ditinggalkan.
Berbeda
halnya dengan pesan sufi masyhur cum sekaliber Maulana Jalaluddin Rumi, “Jangan menangis / Aduhai kenapa pergi! / Dalam pemakamanku. / Bagiku, inilah
pertemuan yang bahagia”. Dalam pesan tersebut tersurat bahwa orang-orang tidak
boleh menangisi kepergian mereka yang dicintai. Selain itu syair di atas mengisyaratkan
arti kematian. Beliau ingin berkata, kematian bukan kematian. Bukan sekedar
pindah atau meninggalkan tempat saja menuju tempat lain. Inilah pertemuan
dengan Sang Pencipta.
Maka
ketika kelahiran dihadirkan secara suka cita, kematian (seharusnya) diwujudkan
dengan suka cita pula meskipun
kita tahu kelahiran dan kematian itu sama. Sama-sama manusiawinya. Idealisme
tersebut agaknya muskil untuk dijalankan dan berat untuk dilaksanakan.
Dalam
tulisan ini bukan sebuah kebetulan saya menyandingkan keduanya yang bernama
sama yaitu Ghiyats. Tak lain (saya berdoa) semoga sifat-sifat baik yang
menempel pada almarhum Ghiyats merembes dan melumer kepada Ghiyats-Ghiyats yang
lain. Salah satunya kepada Ghiyats ini, yang lahirnya diselimuti dan dilingkupi
hari-hari seremonial kebangsaan. Sebab orang baik sudah sepatutnya ada dan
terus ada, berpusing-pusing, dan bereproduksi walau tidak disorot lampu media
dan dihujani blitz kamera.
Yang
terjadi maka terjadilah.
Al-Fatihah!
Labels
Artikel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar