Kajian Bersama Teh Neli dan Wahyu Musyafi
Kajian
selasanan Misykati kemarin (22/11) diisi oleh Neli Analia, teteh cantik asal
Majalengka, yang membawakan tema tentang riwayat israiliyyat, dan Wahyu
Musyafi yang membawakan tema tentang perkembangan nahwu.
Setelah salat
Maghrib aula sekretariat seperti biasa masih terisi beberapa anggota Misykati. Sebab
banyak anggota yang bertempat tinggal di daerah luar Hay Asyir dan azan Maghrib
yang dikumandangkan sekitar pukul 17.00, kajian-kajian ini sering dimulai
setelah salat Isya, atau minimal pukul 18.00.
Pandu
Syahsufi, moderator kajian kali ini, membuka acara dan menyampaikan gambaran
umum kedua makalah selama lima menit. Teh Neli yang malu-malu duduk bersebelahan
dengan Sang Sufi akhirnya mendesak Wahyu untuk menjadi sekat antara keduanya. Sautan
hadirin yang ingin posisi duduk mereka berdua dijejerkan hanya dijawab Sang
Sufi dengan senyum dan bisikan gaib di setiap telinga hadirin yang entah
bagaimana caranya beliau bisa melakukan itu.
Setelah menenangkan
hadirin Sang Sufi mempersilakan Wahyu untuk mempresentasikan makalahnya. Wahyu
memulai presentasinya dengan definisi. Secara etimologi nahwu memiliki tujuh
arti: qasdun (tujuan), mitslun (contoh), miqdarun
(kira-kira), nahiyatun (arah), nau’un (jenis), ba’dhun
(sebagian), dan harfun (tepi). Sedangkan secara terminologi mempunyai
dua makna: (1) Ilmu tentang kaidah pokok yang diambil dari kalam arab untuk
mengetahui hukum-hukum kalimat arab yang tidak disusun dan (2) ilmu tentang
pokok-pokok yang diambil dari kaidah-kaidah arab untuk mengetahui keadaan akhir
kalimat dari segi i’rob dan bina’.
Wahyu
juga menerangkan penggagas awal ilmu nahwu, Abu Aswad ad-Duali, serta penamaan
ilmu ini, “Dulu banyak riwayat yang menyatakan bahwa pada awal peletakannya
ilmu ini dinamai al-‘Arobiyyah, seperti perkataan Ibn Salam dalam thobaqotnya
dan Ibnu Qutaibah dalam al-Ma’arifnya. Nama nahwu muncul setelah thobaqot
kedua yang diambil dari perkataan imam Ali kepada Abu Aswad ketika ia
menyerahkan apa yang telah dikarangnya kepada beliau,” paparnya.
Wahyu
melanjutkan presentasinya ke sub-bab fase-fase dalam perkembangan ilmu nahwu,
“Ada fase pembentukan dan penyusunan, fase perkembangan, fase pematangan, dan
fase tarjih. Masing-masing dari keempat fase tersebut mempunyai corak khusus
yang menjadi pembeda antara satu dan yang lainnya. Dalam istinbat hukum,
ulama nahwu juga menggunakan tiga metode yang dihasilkan secara gradual, yaitu
ta’lil, qiyas, dan istiqra,”
Setelah
pemaparan wahyu selama kurang lebih 15 menit usai dengan iringan tepuk tangan
dari hadirin, Sufi Pandu mempersilahkan teh Neli untuk memulai presentasinya.
Dengan
prolog yang ia tulis, teh Neli memulai presentasinya dengan suara yang lembut. Dilanjutkan
dengan definisi Israiliyyat secara etimologi yang dalam bentuk jamak
kata ini berasal dari “israiliyyah”, nisbat kepada Bani Israil. Adapun secara
terminologi adalah kisah-kisah atau kejadian yang diriwayatkan dari ahli kitab
(Yahudi dan Nasrani) yang masuk dalam tafsir dan hadis.
Teh Neli
juga memaparkan bagaimana sejarah masuknya israiliyyat dan juga
perkembangannya. Munculnya tidak lepas dari kebutuhan umat Islam terhadap
pemahaman al-Quran, khusunya para sahabat dan tabiin sepeninggal Rasulullah SAW
yang tidak ada seorang pun berhak menjadi penjelas wahyu. Al-Quran hanya mencantumkan
riwayat-riwayat ini secara umum sedangkan kitab samawi lainnya menjelaskan
rinciannya. Maka dari itu sahabat merujuk kepada persamaan konten antara
al-Quran dengan kitab samawi yang turun sebelumnya pada sebagian permasalahan. Pada
masa sahabat berlanjut ke masa tabiin, israiliyyat mulai berkembang dan
tumbuh pesat.
Israiliyyat dibagi
menjadi tiga macam: riwayat yang diketahui kebenarannya, riwayat yang diketahui
kebohongannya karena bertentangan dengan syariat Islam, dan yang terakhir
riwayat yang ditangguhkan karena tidak adanya dalil yang menguatkan atau
menolaknya. Ada tiga pendapat terkait hal ini: pendapat yang membolehkan
periwayatannya, pendapat yang melarang periwayatannya, dan pendapat yang
menganjurkan untuk tawaqquf. Namun sayangnya teh Neli tidak mencantumkan
siapa yang berpendapat tentang ini.
Setelah
15 menit kedua berakhir, para hadirin bersemangat untuk menanyakan hal yang
perlu dipertanyakan. Seperti biasa moderator menampung tiga pertanyaan di sesi
pertama dan begitu seterusnya.
Tambahan
datang dari Mas Islah. Beliau memberikan satu contoh kisah israiliyyat tentang
Uzair bin Allah. Ustad Lutfi juga menanggapi pertanyaan dedek imut Lala
tentang persamaan antara al-Quran dengan kitab samawi lainnya. Persamaan antara
keduanya berkisar pada unsur ketuhanan, kasih sayang, gotong royong, dan amal
kebajikan lainnya. Namun bedanya, al-Quran lebih sempurna.
Setelah pertanyaan-pertanyaan
menerjang pemakalah dan dirasa waktu sudah semakin malam, kajian selasanan ditutup
oleh Sang Sufi dan disambut dengan tuna bakar dan sambal sedap buatan Wahyudin.
Labels
Kemisykatian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar