Tanta; Mudik dan Ziarah ke Desa
Saya sebut mudik saja. Bagi saya mudik bukan hanya
sekedar pulang ke kampung halaman, namun sebenarnya ia lebih romantis dari itu:
pulang ke orang tua atau sesepuh. Tapi kalau Anda mau menyebutnya open house atau silaturahim, terserah.
Tanta
adalah daerah paling jauh yang ditempati sesepuh kami, Amu Sugeng sekeluarga.
Ia bukan tujuan yang bisa dibilang dekat jika setiap hari Anda hanya umyik di
daerah Kairo, apalagi lebaran yang bertepatan dengan musim panas kemungkinan
besar akan membuat anda malas keluar rumah. Tapi coba bayangkan suasana ini: sawah dan ladang di kiri-kanan jalan,
suara kerbau dan cemetinya, hingga bau
jerami. Benar-benar suasana pedesaan. Pergilah ke sana jika Anda terlalu jenuh
dengan kegiatan di Kairo meskipun Anda
tidak bisa seenaknya memetik buah-buahan atau mencuri jagung atau ketela dan membakarnya di pinggir sungai.
MakamSidi Dasuqy dan Sidi Badawi terletak tidak jauh dari sana. Jarang-jarang juga
kami berziarah sejauh ke Tanta. Namun, kawan-kawan saya memutuskan untuk ziarah
terlebih dahulu sebelum menuju kediaman sehingga kami harus menaiki
transportasi yang tidak lebih cepat dari kereta api. Kata pemimpin rombongan
kami—kita sebut saja sang Sufi—memang tidak ada kereta api yang langsung menuju
ke sana. Bisa saja oper, namun harus jalan lumayan jauh.
Dengan
Ramses sebagai titik kumpul, kami—yang tidak berhalangan—berangkat menuju
masjid Sidi Ibrahim ad-Dasuqy, Kafr as-Syaikh. Menurut googlemap, masjid Sidi
Ibrahim lebih jauh hampir setengah jarak Ramses-Tanta. Kombinasi jarak, panas
matahari pukul sebelas siang, dan posisi duduk yang berdesakan benar-benar mampu
membuat kawan saya, Abu Umar, menenggak dua botol besar air putih dalam
setengah jam, berkeringat banyak setara dua botol besar air putih, lalu minum
lagi, berkeringat lagi, dan seterusnya. Dengan suhu sekitar 40 atau malah 40
derajat lebih, tremco memang lebih pantas disebut sauna.
Bagi kami suhu sepanas itu tidak jadi masalah.
Guyonan dan perjalanan jauh yang serasa tamasya membuat panas matahari hanya
seperti salah satu dari banyak sekali rintangan di benteng Takeshi. Setelah lumayan lama kami duduk di tremco, sang
Sufi dicecar banyak pertanyaan tentang berapa lagi jarak yang harus ditempuh.
Mungkin kawan-kawan saya juga merasakan hal yang saya rasakan: “kok ra
tekan-tekan sih?”. Namun jawaban yang selalu berbentuk waktu—satu atau dua jam
lagi—membuat kami mendadak lemas karena pantat yang sudah panas akan menjadi
lebih terbakar. Ditambah celetukan Nikmah Ziyadah, “Jangan nunggu pakai jam
penantian, nanti lama,”
sontak membuat beberapa penumpang tertawa. Saya tegaskan, beberapa saja.
Gara-gara guyonannya, saya malah merasa pantat saya sudah menjadi brutu
bakar yang kematangannya sempurna karena dibakar dengan panas yang stabil.
Udara
masjid Sidi Dasuqy yang sangat sejuk benar-benar membayar lelah kami. Pantatku
serasa kembali muda. Kami jadi lebih bisa menghayati doa-doa yang kami rapal
dan menikmati sajian biografi singkat dengan santai. Saya heran kenapa
masjid-masjid selalu sejuk. Dan mungkin kawan-kawan saya juga berpikir begitu.
Karena
kami sudah bosan menenteng menu makan siang dan menelan ludah berulang-ulang
sejak awal perjalanan, setelah salat Asar, kami nongkrong di taman mungil
pelataran masjid. Lontong plastik dan ayam goreng bikinan ketua Misykati—yang
sejak perjalanan ini dimulai beliau sering dipanggil “Idoy”—serasa diolah dengan kandungan kasih sayang yang melimpah. Saya menjadi yakin bahwa Idoy benar-benar mempunyai
aura mengayomi dan menyayangi, dan mungkin saat akhirnya Misykati mencari ketua
baru tahun ini, beliau bisa menjadi kandidat yang paling kuat. Saya siap jadi timses.
Setelah
makan, kami sepakat mampir ke taman seberang komplek masjid. Lokasinya yang berada di tepian
anak sungai Nil membuat kami
merasa ingin segera berenang, apalagi ketika beberapa anak
lelaki terlihat mandi di pinggiran sungai. Anak-anak ini sukses menarik perhatian anggota perempuan kami, karena
mungkin pria yang berenang terlihat begitu seksi.
Kumis dan rambut Bangirung yang
tergerai membuat beberapa perempuan Mesir tergoda untuk mengikuti kami. Bahkan
ketika kami duduk bersama pun, mereka berdiri dan memandangi seolah kami adalah
salah satu dari berbagai macam hal di
dunia yang jarang sekali mereka temui. Jika dibandingkan dengan keadaan di
Kairo, mahasiswa Indonesia memang sudah biasa berkeliaran. Saya yakin
Anda akan merasa seperti turis jika pergi ke luar Kairo.
Dan
selanjutnya, kantuk mulai menyerang dan kursi tremco mengistirahatkan
tubuh kami selama 1 jam perjalanan.
Berhentinya
roda tremco dan sinar matahari yang mulai redup membangunkan kami. Amu Sugeng
dan bala tentaranya, Nabigh dan Naira, menunggu kami di seberang jalan. Saat berjalan dari terminal ke
kediaman beliau, kami bertemu rombongan kerbau. Kerbau asli. Abu Umar
ternganga. Ia hampir salah ikut rombongan.
Lagi-lagi
lelah kami terkikis, dan kali ini karena rawon buatan Amah Fida yang begitu
menggelitik lidah. Perbincangan-perbincangan dan pertanyaan seputar Tanta menjadi
hidangan penutup yang tak kalah seru. Tak lama kemudian disusul Ijah dan Lala,
murid program daurah sebulan di Alexandria. Karena Bibong yang sedari tadi saya
perhatikan begitu menahan rasa rindu akhirnya ikut menjemput mereka di stasiun.
Lahan
istirahat dan tidur anggota laki-laki yang berada di lantai atas, bertepatan
dengan kantor DPD PPMI, sepertinya membuat Darmono sedikit kecewa sebab tidak
berada dalam satu ruangan yang sama dengan para gadis. Nabigh yang sedari tadi
begitu riang masih saja bercerita ke sana ke mari. Tak ada lelahnya. Berbagai
macam musik mulai disetel,
dari Jaran Goyang-nya Nela Kharisma sampai Dia-nya Anji Drive.
Malam
itu, bagi kami, tidur menjadi puncak kenikmatan perjalanan.
—OOO—
Udara
desa yang sejuk. Teh diseduh dan tembakau disulut berulang-ulang. Nela Kharisma
belum lelah menyanyi. Beberapa pasang mata masih terpejam. Hangat aroma masakan
tercium. Perbincangan-perbincangan lucu yang menimbulkan suara ketawa dari
lantai bawah terdengar lamat-lamat.
Aroma
masakan yang semakin kuat menjadi lonceng penanda sarapan. Oseng-oseng tempe
dan kacang panjang serasa ayam bakar bagi perut-perut lapar. Segera setelah
sarapan berakhir, kami melanjutkan obrolan. Beberapa wejangan dari Amu Sugeng membuat
kami harus memasang telinga baik-baik, apalagi ketika beliau memberi nasehat
untuk fokus belajar dan mengurangi jatah bermain gawai. Sebenarnya gawai sangat
mempermudah akses komunikasi dan informasi, namun jika kemudahan itu malah
menenggelamkan Anda pada hal-hal atau chat
yang tidak begitu penting secara berlebihan, gawai akan menjelma kokain atau
barang-barang adiktif lainnya. Perlahan-lahan membunuh waktu, dan hari menjadi
sia-sia.
Setelah
mengucapkan terimakasih, kami menuju makam Sidi Badawi, ditemani Amu Sugeng
sekeluarga. Kami bertarung lagi dengan panas matahari, tapi lokasi yang tidak
terlalu jauh dari kediaman dan lebih dekat dengan stasiun kereta membuat
perjalanan kami siang itu tidak terlalu menguras keringat. Doa-doa dan biografi
singkat yang dipaparkan oleh Amu Sugeng menjadi akhir perjalanan mudik kami.
Dan tak lupa sesi foto, entah bersama atau swafoto.
Masjid
Sidi Badawi menjadi tempat perpisahan kami dengan Amu Sugeng sekeluarga. Ucapan terimakasih masih saja terucap.
Nabigh mungkin merasa sedih karena hari itu kakak-kakak tidak lagi menemani
tidur dan mendengarkan cerita-cerita panjangnya.
Perpisahan
ternyata juga terjadi di stasiun, di mana dua anggota perempuan kami kembali ke
Alexandria, ditemani dua anggota kami yang lain—untuk memastikan keselamatan
mereka berdua. Siang itu, kereta yang biasa disebut kereta kambing mengantarkan
kami. Meski angin panas masih menggigiti kulit kami, setidaknya kereta api
lebih cepat dari tremco dan tidak terlalu memikirkan nasib pantat kami.
Perjalanan
mudik dan ziarah yang panjang ini menjadi awal di mana Bangirung menyukai
lagu-lagu Nela Kharisma dan menyetelnya berulang-ulang. Jangan heran jika anda
memintanya rekues lagu,
dia akan selalu
menjawab “Jaran Goyang”.
Labels
Kemisykatian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar