Kajian I’jaz Al Qur’an; Penghangat di Awal Musim Dingin
Gamik yang mulai dingin mengawasi saya dan Muta'ani
(Mundil)—yang tidak sengaja berpapasan di jalan—berkeliling mencari buncis dan
kopi. Hanya terpaut beberapa langkah dari titik kami bertemu, buncis langsung
didapat. Sedangkan kopi, perlu waktu dan langkah lebih panjang untuk mencarinya,
karena kami tidak tahu letak toko kopi yang dimaksud. Hal itu membuat kami yang
tak mengenakan properti tambahan—seperti jaket—merasakan udara dingin lebih
lama. Setelah misi selesai, kami segera bergegas pulang untuk mencari
kehangatan. Ya, tanpa rasa dingin, kita tak akan menginginkan kehangatan.
Bahkan, tak tahu bagaimana nikmatnya sebuah kehangatan itu. Berterimakasihlah
kepada dingin, yang membawa kita pada kehangatan.(heuheu)
Sama seperti rasa dingin, adanya kajian rutin Misykati juga
menjadi penyebab kehangatan yang akan terus tercipta di antara anggota
Misykati. Apalagi memasuki musim dingin, pembahasan di kajian kita kali ini
terasa hangat dan memanas. Dialah Binti Rahmawati sebagai pemateri yang
menyuguhkan pembahasan penghangat kita, pembahasan yang cukup menarik seputar
I’jaz Al-Qur’an. Untuk makalahnya, Binti memilih judul “I’jaz Al-Qur’an;
Pergolakan Sejarah dan Perkembangannya,” maka pemateri lebih fokus membahas
sisi sejarah munculnya tema I’jaz Al-Qur’an ini. Namun, pemateri tidak
membahas semua jenis I’jaz, hanya I’jaz Ilmi yang akan ia gali,
karena terdapat khilaf di dalamnya.
Sedikit mengulas penjelasan pemateri, I’jaz Al-Qur’an atau
kemukjizatan Al-Qur’an mulai muncul sekitar abad ke-3 Hijriah pada peristiwa
fitnah kemakhlukan Al-Qur’an yang terjadi antara dua sekte besar Islam, Mu’tazilah
dan Asy’ariyyah. Kemudian muncul
teolog Mu’tazilah Abu Ishaq Ibrahim An-Nadzam (w. 232 H) yang menyatakan
bahwa sisi I’jaz Al-Qur’an terletak pada ketidakmampuan orang Arab
mendatangkan kata-kata yang semisal dengan ayat Al-Qur’an. Padahal seperti yang
kita tahu, orang Arab—pada masa Jahiliah khususnya—sangat pandai bersyair (mengeluarkan
kata-kata indah). Di sini jelas terjadi suatu pengalihan kemampuan dan tentunya
hanya Allah SWT yang berkuasa atas itu. Konsep pengalihan dan pemalingan
kemampuan seperti ini disebut Shurfah.
Konsep Shurfah menimbulkan beberapa polemik di
kalangan para ulama. Seperti yang pemateri jelaskan, Abu Utsman al-Jahidz (Wafat
255 H) tidak sepakat dan membantah konsep ini, hal yang sama juga diungkapkan
oleh Abi Sulaiman Hamd bin Muhammad Ibrahim Al-Khattabi (wafat 388 H).
Dilanjutkan tentang pandangan I’jaz Al-Qur’an menurut para ulama abad
ke-3 hingga para ulama kontemporer seperti Muhammad Abduh, dll.
Dalam prolog makalahnya, ia mempertanyakan adakah
kecenderungan madzhab dari masing-masing ulama ketika berbicara tentang I’jaz
Al-Qur’an?. Hal ini menarik, pembaca pasti menaruh ekspektasi besar pada
pemateri untuk mengulasnya lebih dalam—yang notabene awal mula terjadi
perselisihan mengenai I’jaz Al-Qur’an ini adalah pertentangan antara dua
madzhab. Namun, dalam pembahasannya di halaman 5 paragraf 2 pemateri ragu untuk
menyebut bahwa Abu Bakar al-Baqilani (wafat 403 H)—seorang tokoh Asy’ariyyah—berpendapat
dengan dipengaruhi madzhabnya dalam karya “I’jaz al-Qur’an” yang ia
tulis. Hal ini mengundang Sarip—pegiat literasi berambut unik di
Misykati—mengangkat tangannya di sesi lanjutan yang dipersilakan oleh
moderator. Oh, hampir saja saya lupa memperkenalkan sang moderator yang gaya
bicaranya mirip Yusuf Fajri, sebut saja ia Bibong nama beken dari Fadli
Maulana. Dengan gaya renyahnya—yang kadang terlihat aneh, ia mempersilakan
Misykatian untuk bertanya, menanggapi, memberi saran maupun mengritik dirinya
sendiri. Aneh memang.
Kembali fokus pada Sarip, ia mempertanyakan soal kepastian
pengaruh kecenderungan madzhab dari masing-masing ulama yang tidak dibahas
secara gamblang oleh pemateri. Menurut Sarip, pemateri seharusnya bisa mengupas
dan membahasnya lebih dalam, juga memberi opininya tentang itu. Furqon sepakat
dengan Sarip, menurutnya pemateri belum masuk ke pembahasan tersebut. Zulfi
juga mempertanyakan perbedaan ideologi Mu’tazilah dan Asy’ariyyah dalam
I’jaz Al-Qur’an yang memang belum pemateri jelaskan dan ada beberapa
pertanyaan dari Misykatian seputar makalah. Suasana agak memanas ketika Tubagus
sebagai pegiat kajian di Misykati dan Masisir—sekaligus pencetus ide tema I’jaz
Al-Qur’an ini, memberi tanggapan, kritik dan masukan. Kenapa saya sebut
memanas? Karena selain memaparkan pendapatnya mengenai I’jaz Al-Qur’an yang
ia kutip dari pemikiran Said Nursi, ia juga secara terang-terangan menganggap
bahwa pembahasan I’jaz Ilmi itu tak ada faedahnya. Menurutnya, hal-hal
yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan tak akan ada ujungnya, jadi tak perlu
dibahas. Sontak hal itu dibantah oleh Yusuf Fajri aka Ucup. Ucup justru
menyarankan pemateri untuk fokus dan memperdalam pembahasannya tentang I’jaz
Ilmi dengan hanya menyinggung sedikit saja soal sejarahnya.
Masih di sesi tanggapan, mbak Aini sang Ahli Hadis,
menjelaskan secara rinci tentang lima jenis I’jaz Al-Qur’an dari hasil
bacaannya dari berbagai sumber. Kelima jenis itu adalah I’jaz Bayani, I’jaz
Ilmi, I’jaz Tasyri’i, I’jaz Ghaibi dan I’jaz Tashwiri. Para
Misykatian menyimak dengan seksama. Terakhir, Furqon melontarkan pertanyaan
yang menarik sekaligus memantik ke-kepo-an kita, “Apakah keotentikan
Al-Qur’an termasuk I’jaz? Dan apakah ada ilmu atau kajian yang membahas
tentang hal itu?” Pemateri belum bisa menjawab, Misykatian lain juga belum bisa
memastikan. Ini menjadi PR kita semua sekaligus pemantik agar kita lebih rajin
membaca sehingga wawasan keilmuan kita luas dan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan
jebakan kaum Orientalis.
Menyoal buncis yang saya dan Mundil beli, sedari tadi ia
ada, mengawasi perbincangan kita, bahkan ia berubah menjadi pelengkap sajian
pecel dan orek tempe yang lezat. Sedangkan si kopi, pasti sudah diseduh oleh
para penggilanya. Semoga Misykati semakin dan selalu hangat dengan keilmuan. Kapanpun,
di semua musim. (Silma Dianaty Elfath)
Labels
Kemisykatian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar