Menyalakan Api Misykati
Dulu Kang Abik pernah
mampir di Misykati. Kalau tak luput, itu dua tahun yang lalu di sela-sela
kesibukannya sebagai pembicara pada Festival Film Indonesia yang digelar KBRI
Kairo. Saat beliau membagikan sekian pengalaman dan motivasinya sebagai vintage
misykatian, ada satu yang benar-benar kuingat:
”Dulu asal bikin nama
(misykati), dan yang penting bagus. Kepanjangannya apa, dipikir nanti.”
Kutipan tadi tak persis
dengan kalimat beliau, tapi intinya sama dan proses penamaan “misykati” memang
begitu. Makanya, di antara perkumpulan alumnus MAPK, yang namanya berbeda cuma
kita. Yang lain itu bernama “ikamaksuta”. Bila berpusat di Jogja, namanya
berarti Ikamaksuta Jogja. Tinggal menambahkan nama kota setelah akronimnya
saja.
Secara makna,
kepanjangan dari akronim Misykati kental nuansa akademis. Menggambarkan sebuah
perkumpulan yang giat berkutat dengan literatur dan diskusi. Ini berbeda dengan
ikamaksuta yang hanya menerangkan bahwa ia adalah sebuah ikatan alumni.
Mungkin, ya, generasi
90-an Misykati menginginkan nama yang lebih heroik. Asumsi lain, mereka ini
juga super yakin bahwa nama adalah doa dan karenanya harus memilih kata yang
tepat. Bahkan biar afdhal, harus berbau Arab. Jadi tak mau memakai bahasa
Indonesia seperti nama angkatan (pa/pi) di seluruh angkatan MAPK yang melulu diawali
huruf sakral: G.
Kalau kamu sedang di
sekretariat, coba sejenak mengamati dinding paling ramai di ruang tengah. Di
situ terpampang 6 piagam penghargaan sebagai almamater terbaik. Namun, bila
kamu di Indonesia, khusunya Jakarta, di MUI itu ada orang kita namanya Prof.
Saiful Bahri, yang dulu pernah mengetuai PPMI Mesir 2002-2003. Nah, jika kamu
masih bersekolah di MAPK, di sana ada al-ustad al-murabbi at-thawil
al-muharram, eh, al-mukarram ala wahuwa Tri Bimo Suwarno, LC.
Suatu waktu, kala mengobrol
bersama Anjaz Maulana si Sang Sufi Jr., kenyataan di atas dia katakan sebagai
bukti bahwa doa para pendahulu itu mustajab. Saya sependapat, apalagi yang
mengatakan itu adalah penerus Sang Sufi, yang digosipkan segera menanggalkan
masa lajangnya demi seorang hmm, biar tak menyebut merek, sebut saja demi
seorang teteh.
Berdasarkan riwayat lisan para senior, dahulu Misykati memiliki program
penunjang bahasa lewat tashwibat lughawiyat, dan ada juga program
pengembangan hasil belajar di kampus maupun ruwaq lewat kajian mingguan. Dengan
program semacam itu, diharapkan gairah akademik anggota terpelihara dan
terlatih. Melihat jebolan Misykati dan sejumlah piagam almamater terbaik,
tampaknya dua program ini berhasil. Wajar bila senior yang di sini terkadang
menyebut dan membanggakan program zaman jebot itu. Ustaz Luthfi saja, saat
disambangi Arga Queque dan Fadli Zonx minggu lalu di Umraniyah, menginginkan tashwibat
jalan lagi. Sangat bermanfaat, katanya.
Ya walau dua program
di atas terdengar menjanjikan, harus diakui pula bahwa tak seluruh anggota
antusias. Bung Dlopir pernah bercerita beberapa senior kadang tak mengikuti
kajian, bahkan sering gaibnya. Jadi, seberapa mujarab dan berperan dua program
tersebut pada kebesaran nama Misykati dan kiprah alumninya, akhirnya tak bisa
dinilai secara hitam putih. Mungkin hanya bisa dipastikan bahwa program
tersebut sangat membantu perkembangan anggota, baik yang antusias maupun yang
sekadar mengikuti. Setidaknya dua program itulah yang diusahakan pendahulu dan untungnya,
membuahkan hasil.
Itu masa lalu.
Bagaimana dengan usaha kita para angkatan muda Misykati?
Tashwibat sudah
tak ada. Minat baca anggota juga rendah. Sebab itu, kita minim ide, jarang
diskusi, dan merasa keberatan jika diminta menulis makalah. Maka tak aneh bila
kajian sempat berhenti hampir satu tahun. Sebelum itu, kalaupun ada kajian
maupun kegiatan lain yang berbau pendidikan, tingkat kehadiran anggota juga rendah,
dan selalu didominasi dedek-dedek. Grivazs bahkan pernah merasa acara Misykati
hanya untuk-dan-oleh mereka saja.
Mengingat-ingat LPJ
2017, saat itu Kang Dlosor dan Kang Thole sempat menyinggung kajian Selasanan
yang tak kunjung aktif. Redaksi aslinya saya lupa. Intinya, kalau tak ada
kajian ya bukan Misykati, dan hal utama untuk mengidentifikasi ke-misykati-an seseorang
ya aktivitas kajian. Kira-kira begitu pendapat umum Masisir terhadap anggota.
Sebetulnya usaha
untuk mengaktifkan kajian Selasanan sudah dimulai sejak 2015. Saat itu justru
bukan dalam rangka mengaktifkan, tapi membenahi kualitas makalah dengan cara
menyediakan pembimbing per pemakalah. Problemnya, tak kontinu. Kemudian pada
2016, ada pembenahan lagi berupa memberikan panduan dan membuat juklak. Rencana
ini berjalan, tapi belum banyak membantu pemakalah yang ditunjuk.
Hipotesisnya, masalah
kajian Selasanan terletak pada hal-hal yang lebih esensial dan personal. Seperti
yang diutarakan dan dialami sendiri Hased Resto, jadi dedek-dedek yang mulai
kuliah itu tak boleh serta-merta diminta menulis makalah, sementara mereka
belum pernah diajari. Semua proses dari yang paling dasar, yaitu membaca
literatur, harus dikenalkan terlebih dahulu. Sekarang, ide inilah yang sedang
digarap.
Di bawah bimbingan
Tebhe alias Imam Besar grup Ahbab Maulana, Dek Grivazs mulai menjalankan pogram
baca beberapa bab dalam Fajrul Islam. Setiap Sabtu, mereka akan membagikan
hasil baca untuk didiskusikan bersama-sama. Adapun Grazeta, di bawah bimbingan
Ustazah Ni’mah, Lc. kini tiap minggu mereka berkumpul membicarakan makalah yang
mereka garap.
Berdasarkan laporan
intel elit global, kudengar Muazah Nurrakhmat Al-Hafizah malah mengusulkan
program tahfiz untuk dedek-dedek. Rencananya, dia sendiri yang akan
membimbing, tapi khusus akhwat.
Adapun bagi ikhwan, sepertinya
Kiai Pakenthon yang akan membimbing. Nah, ini menarik. Ke depannya, insyaallah
Misykati bisa Islami dan terjaga dari pria MA*O seperti Ngid, si bos sapi itu.
Tidak lain, semua
program di atas hanyalah ikhtiar demi kebangkitan Misykati. Apakah ini akan
menelurkan generasi yang berilmu dan berwawasan luas, saling mendoakan dan
mendukunglah. Mendukung bisa dengan banyak cara. Misal, kalau punya
kesempatan/waktu luang, kakak-kakak bisa tuh menemani mereka. Syering-syering
atau apa. Cuman kalau punyanya uang, ya, bisa laaah bagi-bagi. Minimal, bayar
iuran tahunan anggota :p
.
.
.
.
.
*Ahya. Program
tahfiz-nya bo’ongan.
Furqon Khoiruddin
Labels
Artikel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar